SK Penetapan Lokasi Geothermal: Apakah Bupati Manggarai Melakukan Tindakan Tepat Sesuai Kewenangannya?

Foto : Edi Danggur

Oleh : Edi Danggur

SK Penlok itu HANYA menjadi dasar bagi PT PLN untuk mengadakan negosiasi pelepasan hak atas tanah dan negosiasi pemberian ganti untung kepada masyarakat.”

Salahkah bupati menerbitkan SK Penetapan Lokasi (Penlok)?

Bacaan Lainnya

Apakah bupati itu provokator hanya karena ia menerbitkan SK Penlok?

Darimana sumber kewajiban Bupati melakukan sosialisasi penlok?

Apakah isi sosialisasi untuk meyakinkan masyarakat menerima perluasan lokasi geothermal?

Asumsikan rumusan masalahnya seperti di atas, maka saya mempunyai pendapat seperti berikut:

Dari perspektif bupati sebagai Pejabat Tata Usaha Negara (TUN), Bupati tidak salah. Sebab, PT PLN sebagai warga korporasi mempunyai hak yang sama dengan warga korporasi lainnya untuk mengajukan SK Penlok atau SK Ijin Lokasi bagi PT non BUMN.

Bupati bukan provokator. Sebab, ketika ia menerbitkan SK Penlok, ia sedang menjalankan kewajibannya sebagai Pejabat TUN.

Asalkan syarat-syarat terpenuhi, maka bupati wajib untuk menerbitkan SK Penlok itu. Justru kalau bupati tidak menerbitkan SK Penlok itu, ia bisa digugat di PTUN oleh PT PLN.

Tidak ada kewajiban bagi bupati untuk mensosialisasikan ke masyarakat setiap SK TUN yang ia terbitkan. Tetapi kalau ada masyarakat yang merasa dirugikan oleh penerbitan sebuah SK TUN yang ditandatangani oleh bupati maka masyarakat yang merasa dirugikan itu mempunyai hak untuk menggugat pembatalan SK tersebut di PTUN.

Justru bupati salah jika ia sosialisasikan SK Penlok agar masyarakat melepaskan hak atas tanah mereka dan menerima uang ganti untung dari PT PLN. Itu bukan urusan bupati.

Sebab, masyarakat punya hak untuk menolak melepaskan hak atas tanah mereka ke PT PLN dan sekaligus berhak menolak uang ganti untung yang ditawarkan oleh PT PLN.

Bupati tidak boleh ikut campur tangan dalam urusan negosiasi ganti untung itu. Jika masyarakat menolak ganti untung dan menolak melepaskan hak atas tanah mereka, maka SK Penlok gugur dengan sendirinya.

Gugurnya atau tidak berlakunya SK Penlok itu bukan urusan bupati. Tetapi urusan masyarakat pemilik tanah dan PT PLN.

Tidak ada orang di luar diri warga masyarakat pemilik lahan yang merasa berhak melarang masyarakat melepaskan hak atas tanah mereka kepada PT PLN. Bupati sekalipun tidak berwenang.

Kenyataannya bahwa mayoritas masyarakat pemilik lahan dalam area perluasan lokasi geothermal sudah menerima uang ganti untung dari PT PLN. Itu berarti masalahnya sudah selesai.

Kalaupun hanya 1-5 orang yang belum menerima atau menolak uang ganti untung dari PT PLN, maka PT PLN mempunyai kewajiban untuk melakukan konsinyasi uang ganti untung yang belum diambil oleh masyarakat tersebut ke Pengadilan Negeri Ruteng.

Masyarakat yang 1-5 orang itu bisa mengambilnya di PN Ruteng kapan saja. Jika tindakan konsinyasi yang dilakukan oleh PT PLN itu dianggap melanggar hukum, tinggal tunjukkan dasar hukumnya dan gugat PT PLN ke pengadilan.

Jika 100 persen masyarakat pemilik tanah menolak melepaskan hak atas tanah mereka dan menolak uang ganti untung yang ditawarkan oleh PT PLN maka SK Penlok menjadi tidak berwibawa dan gugur dengan sendirinya.

PT PLN dan bupati tidak berhak memaksa masuk ke lokasi dan memaksakan beroperasinya PT PLN di area perluasan geothermal.

Tetapi sebaliknya, ketika mayoritas masyarakat sepakat melepaskan hak atas mereka dan menerima uang ganti untung dari PT PLN, maka masalah sudah selesai.

PT PLN mempunyai hak untuk mengajukan sertifikat hak yang baru atas tanah hak milik adat masyarakat tersebut ke BPN Manggarai sesuai dengan peruntukannya.

Tidak ada orang yang berhak menghalangi PT PLN untuk memasuki area perluasan geothermal yang tanahnya sudah dilepaskan oleh masyarakat pemilik lahan dan telah menerima uang ganti untung dari PT PLN.

Penulis adalah Praktisi Hukum dan Dosen Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, Jakarta Asal Manggarai Barat

Pos terkait